Kamis, 05 April 2012

Permasalahan Dalam Penyidikan Terhadap Cybercrime


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam proses penyidikan Terhadap Cybercrime antara lain adalah sebagai berikut:

1) Perangkat hukum yang belum memadai
Penulis telah menyebarkan tiga puluh angket kepada 30 orang responden yang bertugas sebagai penyidik di lingkungan unit tugas Serse POLDA Sumatera Utara. Seluruh responden mengaku telah mengetahui tentang cybercrime dan yakin bahwa cybercrime telah terjadi di Sumatera Utara, namun para responden masih menganggap lemahnya peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap pelaku cybercrime, sedangkan penggunaan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP seringkali masih cukup meragukan bagi penyidik. 2 orang responden yang menganggap telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang cybercrime merujuk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Seluruh responden sependapat bahwa perlu dibuat undang-undang yang khusus mengatur cybercrime.

2) Kemampuan penyidik
Secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus itu. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah:
  1. Kurangnya pengetahuan tentang komputer.
  2. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih terbatas.
  3. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik.

Dari penelitian dilakukan, ternyata masih sangat kurang jumlah penyidik yang pernah terlibat dalam penanganan kasus cybercrime (10%), bahkan dari 30 orang responden yang ada, tidak ada satu orang pun yang pernah mendapat pendidikan khusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus cybercrime.
Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker. 

3) Alat Bukti
Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:

  1. Sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau system internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah.
  2. Kedudukan saksi korban dalam cybercrime sangat penting disebabkan cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan.[1] Penuntut umum juga tidak mau menerima berkas perkara yang tidak dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Saksi khususnya saksi korban dan harus dilengkapi dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi disebabkan kemungkinan besar saksi tidak dapat hadir di persidangan mengingat jauhnya tempat kediaman saksi. Hal ini mengakibatkan kurangnya alat bukti yang sah jika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sehingga beresiko terdakwa akan dinyatakan bebas.[2]

Mengingat karakteristik cybercrime, diperlukan aturan khusus terhadap beberapa ketentuan hukum acara untuk cybercrime. Pada saat ini, yang dianggap paling mendesak oleh Peneliti adalah pengaturan tentang kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistem program yang disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.

4) Fasilitas komputer forensic
Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai.
Fasilitas forensic computing yang akan didirikan Polri diharapkan akan dapat melayani tiga hal penting yaitu evidence collection, forensic analysis, expert witness.[3]



[1] Hasil wawancara dengan S. Sinurat, penyidik pada Resum Unit Bunuh & Culik pada Direktorat Reserse POLDA Sumut yang saat ini sedang menangani sebuah kasus Cybercrime di daerah hukum POLDA-SU Medan.
[2] Hasil wawancara dengan Tommy Kristanto, S.H., M.Hum, Jaksa Penuntut Umum yang pernah menangani berkas perkara hasil penyidikan Cybercrime ketika bertugas di Seksi Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Yogyakarta pada tahun 2002.
[3] Makalah Drs. Rusbagio Ishak (Kombes Pol/49120373), Kadit Serse Polda Jateng, pada seminar tentang Hacking yang diadakan oleh Majalah NeoTek pada bulan Agustus 2002 di Semarang.