Perkembangan
teknologi jaringan komputer global atau Internet telah menciptakan dunia baru yang
dinamakan cyberspace, sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang
menawarkan realitas yang baru, yaitu realitas virtual.
Istilah cyberspace
muncul pertama kali dari novel William Gibson berjudul Neuromancer pada tahun 1984.[1]
Istilah cyberspace
pertama kali digunakan untuk menjelaskan dunia yang terhubung langsung (online)
ke internet oleh Jhon Perry Barlow pada tahun 1990.
Secara
etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu kata merupakan suatu istilah baru yang hanya dapat
ditemukan di dalam kamus mutakhir. Cambridge Advanced Learner's Dictionary memberikan definisi cyberspace
sebagai “the Internet considered as an imaginary area without limits where you
can meet people and discover
information about any subject”.[2] The
American Heritage Dictionary of English
Language Fourth Edition
mendefinisikan cyberspace sebagai “the electronic medium of computer
networks, in which online communication takes place”.[3]
Pengertian cyberspace
tidak terbatas pada dunia yang tercipta ketika terjadi hubungan melalui internet.
Bruce Sterling mendefinisikan cyberspace sebagai the ‘place’ where a telephone
conversation appears to occur.[4]
Perkembangan teknologi komputer
juga menghasilkan berbagai bentuk kejahatan komputer di lingkungan cyberspace yang
kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal dengan Cybercrime, Internet
Fraud, dan lain-lain.
Collin Barry C. menjelaskan
istilah cybercrime sebagai berikut :
“Term
“cyber-crime” is young and created by combination of two words: cyber and crime. The term
“cyber” means the cyber-space (terms “virtual space”, “virtual world” are used more
often in literature) and means (according to the definition in “New hacker vocabulary” by Eric S.
Raymond) the informational space
modeled through computer, in which defined types of objects or symbol images of information exist – the place where
computer programs work and data is processed.”[5]
Computer crime
dan cybercrime
merupakan 2 (dua) istilah yang berbeda sebagaimana dikatakan oleh Nazura Abdul Manap
sebagai berikut:
“Defined broadly, “computer crime”
could reasonably include a wide variety of
criminal offences, activities or issues. It also known as a crime committed using a computer as a tool and it involves direct
contact between the criminal and the
computer There is no Internet line involved, or only limited networking used such as the Local Area Network (LAN). Whereas,
cyber-crimes are crimes committed
virtually through Internet online. This means that the crimes committed could extend to other countries... Anyway, it
causes no harm to refer computer crimes
as cyber-crimes or vise versa, since they have same impact in law.”[6]
Sebagian besar
dari perbuatan Cybercrime dilakukan oleh seseorang yang sering disebut dengan cracker.
Berdasarkan catatan Robert H’obbes’Zakon, seorang internet Evangelist, hacking
yang dilakukan oleh cracker pertama kali terjadi pada tanggal 12 Juni 1995 terhadap
The Spot dan tanggal 12 Agustus 1995 terhadap Crackers Move Page. Berdasarkan catatan itu pula, situs pemerintah
Indonesia pertama
kali mengalami serangan cracker pada tahun 1997 sebanyak 5 (lima) kali.[7]
Kegiatan hacking
atau cracking yang merupakan salah satu bentuk cybercrime tersebut telah membentuk
opini umum para pemakai jasa internet bahwa Cybercrime merupakan suatu perbuatan yang
merugikan bahkan amoral. Para korban menganggap atau memberi stigma bahwa cracker adalah
penjahat. Perbuatan cracker juga telah melanggar hak-hak pengguna jasa internet sebagaimana
digariskan dalam The Declaration of the Rights of Netizens yang disusun oleh Ronda Hauben.[8]
Berdasarkan
pemikiran JoAnn L. Miller yang membagi kategori white collar crime menjadi empat kategori,
yaitu meliputi organizational occupational crime, government occupational crime, profesional occupational crime, dan individual
occupatinal crime, maka Agus Raharjo berpendapat bahwa Cybercrime
dapat dikatakan sebagai white
collar crime dengan kriteria berdasarkan kemampuan profesionalnya.[9]
David I. Bainbridge mengingatkan bahwa
pada saat memperluas hukum pidana, harus ada
kejelasan tentang batas-batas pengertian dari suatu perbuatan baru yang
dilarang sehingga dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan juga dapat dibedakan denganmisalnya sebagai suatu perbuatan
perdata.[10]
[1] William Gibson, 1984, Neuromancer, New York:Ace, hal. 51,
dikutip dari Agus Raharjo, op.cit., hal. 92-93.
[3] http://www.bartleby.com.
[4] Bruce Sterling, 1990, The Hacker Crackdown, Law and Disorder on the electronic Frontier, Massmarket Paperback, electronic version available at http://www.lysator.liu.se/etexts/hacker.
[5] Collin Barry C., 1996, The Future of CyberTerrorism, Proceedings of 11th Annual International Symposium on Criminal Justice Issues. The University of Illinois at Chicago, dikutip dari makalah Vladimir Golubev, cyber-crime and legal problems of usage network the INTERNET.
[6] Nazura Abdul Manap, Cyber-crimes: Problems and Solutions Under Malaysian Law, makalah pada seminar nasional Money Laundering dan Cybercrime dalam Perspektif Penegakan Hukum di Indonesia, diselenggarakan oleh Lab. Hukum Pidana FH Univ. Surabaya, 24 Februari 2001, hal.3.
[7] Agus Raharjo, op. cit., hal. 35-39.
[8] Ibid, hal. 44.
[9] Ibid, hal. 50-5 1.
[10] David I. Bainbridge, 1993, Komputer dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 155.
[4] Bruce Sterling, 1990, The Hacker Crackdown, Law and Disorder on the electronic Frontier, Massmarket Paperback, electronic version available at http://www.lysator.liu.se/etexts/hacker.
[5] Collin Barry C., 1996, The Future of CyberTerrorism, Proceedings of 11th Annual International Symposium on Criminal Justice Issues. The University of Illinois at Chicago, dikutip dari makalah Vladimir Golubev, cyber-crime and legal problems of usage network the INTERNET.
[6] Nazura Abdul Manap, Cyber-crimes: Problems and Solutions Under Malaysian Law, makalah pada seminar nasional Money Laundering dan Cybercrime dalam Perspektif Penegakan Hukum di Indonesia, diselenggarakan oleh Lab. Hukum Pidana FH Univ. Surabaya, 24 Februari 2001, hal.3.
[7] Agus Raharjo, op. cit., hal. 35-39.
[8] Ibid, hal. 44.
[9] Ibid, hal. 50-5 1.
[10] David I. Bainbridge, 1993, Komputer dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 155.